Header Ads

Breaking News
recent

MENGEMBALIKAN FUNGSI MEDIA MASSA

MENGEMBALIKAN FUNGSI MEDIA MASSA YANG SEIMBANG


 Dewasa ini kita telah banyak melihat bahwa banyak berita telah menjadi sebuah kebutuhan pokok dalam kehidupan umat manusia. Publik yang selalu butuh akan informasi selalu berusaha memenuhi kebutuhannya tersebut, terutama melalui media massa. Media massa sendiri memiliki beberapa macam fungsi, yakni sebagai sarana informasi, edukasi, hiburan serta kontrol sosial dan juga yang terakhir adalah sebagai lembaga bisnis yang artinya juga mereka membutuhkan profit. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, media dan pers yang pada masa orde baru mengalami tekanan luar biasa dari pemerintah, kini dapat dengan leluasa bergerak. Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 menciptakan kebebasan pers baru di Indonesia. Koridor kebebasan media terbuka dengan keluarnya SK Menpen No.132/ 1998 tentang ketentuan mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Implikasi dari kemudahan mendapatkan SIUPP dan kebebasan media ini adalah semakin bertumbuhnya industri media massa, baik cetak maupun elektronik.
Seiring menjamurnya industri media massa yang semakin banyak ini tidak terlepas dari konsep pasar. Adanya persaingan bebas ini memaksa keadaan media untuk lebih inovatif dan kratif dalam membuat berita yang tujuannya untuk menyasar pasaran audiens. Akibatnya, media massa terikat arus komersialisasi besar- besaran sehingga apapun dilakukan untuk mendapatkan profit/ keuntungan. Lebih jauh lagi, media massa pun berusaha untuk menempatkan jaringan produksi dan distribusi produk- produk budaya seperti berita, iklan, sinetron, film, kuis, dan sebagainya untuk terintegrasi langsung dalam prinsip pasar (market). Oleh karena itu mudah ditebak, sebagai “industri budaya”, apapun yang dilakukan selalu berada pada titik harapan akan terciptanya peningkatan oplah, hits dan rating.

Jelas setelah menjadi lembaga yang lebih condong kearah pasaran maka yang akan terjadi adalah media kemudian menjadikan kepentingan publik berada dibawah kepentingan otoritas. Media seakan terjebak dalam keinginan untuk merespon apapun selera massal. J.H. Altschull menyatakan bahwa model pasar terkait dengan masalah keyakinan bermedia antara lain media seharusnya bebas dari campur tangan pihak luar, media melayani hak publik untuk memperoleh informasi, belajar dan menyajikan kebenaran, serta memberikan laporan secara adil dan objektif.
Persoalan utama yang timbul saat ini adalah ketika konsentrasi kepemilikan modal dalam industri media kiansaat menguat, media dan jurnalisme di dalamnya pun terancam untuk menjadi sekedar bisnis dan barang dagangan. Rupert Murdoch meneliti bagaimana bisnis media yang mengglobal kian menyudutkan jurnalisme sebagai produk dagangan. Di Indonesia, fenomena serupa bisa ditemui dalam kelompok Kompas, Jawa pos, Media Indonesia, Para Group, dan lain- lain. Dalam hubungan media dan politik, media harus cukup independen agar fungsinya sebagai anjing penjaga (watchdog) dapat dijalankan dengan baik dan demokrasi tidak akan berjalan timpang.

Penguasa industri media di Indonesia saat ini adalah kekuatan pasar, ‘invisible hand’ yang tak kelihatan. Ia juga bisa kejam dan tak berperasaan. Ujung-ujungnya, pasar juga menerapkan sebuah aturan main yang sangat lugas dan sederhana : survival of the fittest. Lalu muncullah sebuah ironi media berkaitan dengan survival media.

Media agar bisa independen tentu harus bisa menghidupi diri sendiri. Media jelas tidak bisa menerima dana publik kalau mau benar- benar independen. Bagaimana pun juga, mekanisme pemberian dana publik adalah bagian dari proses politik yang justru harus dikontrol oleh media. Proses budgeting di Departemen Keuangan dan parlemen adalah bagian terpenting dari mekanisme pemerintahan yang justru harus menjadi fokus kontrol media. Kalau media terlibat di sini, sudah pasti ia akan mengorbankan independensinya dan tak bisa lagi ia menjadi mekanisme kontrol untuk kepentingan masyarakat. Media massa harus menjalankan fungsi kontrolnya sambil memikirkan bagaimana caranya survive. Institusi media haruslah secara finansial cukup sehat.
Oleh karenanya, institusi media harus membuat produk yang layak secara komersial kalau ingin mendapatkan dukungan pasar. Bertahan hidup dalam sebuah ekonomi yang berorientasi pasar juga berarti memburu profit dan memenangkan persaingan. Rumusnya sederhana: ikutilah selera pasar sebaik-baiknya. Ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa kita lawan, sepanjang kita bersepakat menganut faham ekonomi yang liberal. Dan pasar media di Indonesia , terutama media cetak, adalah pasar yang dirasa paling liberal dan kompetitif.

Bagaimana idealisme media yang seharusnya  ?

Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap  jurnalis. Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, seiring berjalannya waktu, prinsip-prinsip itu tetap bertahan. Di kalangan orang pers, istilah sembilan elemen jurnalisme mungkin sudah populer di telinga. Adalah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang menyusunnya. Kesimpulan itu didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan di Amerika dalam periode tiga tahun.
Pada dasarnya prinsip-prinsip itu tidak lain sebagai kaidah yang ideal bagi pers ataupun jurnalis dalam berperilaku sebagai media massa. Sembilan elemen itu antara lain; Berpihak pada kebenaran, berpihak kepada masyarakat, disiplin verifikasi, independen, pemantau kekuasaan, menjadi forum untuk publik, membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, komprehensip dan proporsional serta kembali pada hati nurani.
Tapi dalam perkembangannya, Kovach dan Tom menambahkan satu elemem lain, yakni warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal terkait berita. Elemen terbaru ini muncul karena perkambangan teknologi informasi, terutama internet. Warga saat ini bukan hanya sebagai konsumen yang pasif dalam menerima berita, tapi ia juga bisa menciptakan media sendiri. Seperti menjamurnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism) , jurnalisme komunitas, dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.
Memang pada kenyataannya bahwa semua media massa seburuk yang dibicarakan. Masih banyak media yang memiliki napas idealisme kuat, Namun lucunya setiap media massa yang mempertahankan idealismenya justru malah jatuh bangkrut akibat kalah saing dengan media-media lainnya. Hanya saja ada dominasi media mainstream yang membentuk karakter seperti itu. Bagaimanapun kondisi pers saat ini, di tengah idealisme dan komersialisme media, pers harus tetap bertahan pada porosnya sebagai media literasi yang mencerdaskan manusia. Bukan justru menyesatkan manusia dalam kepentingan pihak-pihak tertentu.
Kesimpulan

Seharusnya sebagai sebuah media informasi dalam memberitakan media massa memiliki check and balance sehingga berita yang ditampilkan menjadi obyektif. Tidak subyektif atau berpihak kepada pihak tertentu atau justru malah memprovokasi sebuah masalah sehingga menjadi lebih keruh tanpa memberikan solusi. Karena, sebenarnya media massa memiliki kekuatan yang saling berlawanan dalam membentuk opini dan sikap masyarakat yaitu membangun masyarakat yang cerdas dan kritis atau malah sebaliknya. Menuntun masyarakat menjadi warga negara yang pasif dan mudah terprovokasi oleh berita.
Namun, yang lebih penting lagi adalah idealisme media massa sebagai sebuah sarana dan fungsi informasi yang perlu dikembalikan. Karena, ketika idealisme sudah digerogoti oleh pengejaran oplah sudah digerus oleh mengejar pendapatan iklan atau disisihkan oleh keberpihakan kepada pihak tertentu maka yang ada hanyalah informasi yang cenderung kabur, subyektif, dan tidak konstruktif bagi kemajuan sebuah masyarakat.

No comments:

Powered by Blogger.